Nama :
Indra Jalaludin
NPM :
1510631080074
Kelas :
III B
Skema Aktan
|
1. Subjek :
Bagenda Endit
2. Objek :
Kekayaan
3. Pengirim :
Keserakahan
4. Penolong : Hutang
warga yang diberikan bunga tinggi dan tempo pembayaran
singkat
singkat
5. Penentang : Kakek Tua
6. Penerima : Bagenda
Endit
Skema (bagan) Fungional
Situasi Awal
|
Transformasi
|
Situasi Akhir
|
||
Cobaan Saringan
|
Cobaan Utama
|
Cobaan Kegemilangan
|
||
(A)
|
(B)
|
(C)
|
(D)
|
(E)
|
(A) Bagenda Endit seorang janda kaya namun sangat pelit dan kikir yang
ditinggal suaminya karena meninggal dan tidak mempunyai anak. Agar tetap kaya
ia meneruskan pekerjaan suaminya menjadi rentenir. Ia memberikan pinjaman uang
dengan tempo pembayaran yang singkat dan bunga yang tinggi. Bila warga telat
membayarnya maka dia menyita tanah milik warga.
(B) Seorang Ibu dengan bayinya yang kelaparan mendatangi rumah
Bagenda ndit untuk meminta makanan karena anaknya belum makan berhari-hari
namun bukannya makannan yang didapat mereka malah disiram oleh Bagenda Endit
dan diusir jauh dari rumahnya.
(C) Warga berbondong-bondong datang ke rumah Bagenda Endit untuk
meminta air sumurnya karena sumurnyalah satu-satunya yang airnya melimpah di
daerah tersebut. Namun Bagenda Endit tidak mengizinkannya dan mengusir warga
untuk mengambil air ke sungai saja.
(D) Seorang Kakek Tua yang sangat kehausan hanya minta minum kepada
Bagenda Endit. Akan tetapi Bagenda Endit malah mengambil tongkat Kakek Tua
tersebut dan memukulkannya kepada sang Kakek hingga terjatuh.
(E) Sang Kakek yang terjatuh menancapkan tongkatnya ke depan rumah
Bagenda Endit dan mengeluarkan air yang semakin membesar hingga pada akhirnya
desa terebut terendam oleh air tersebut dan akhirnya menjadi situ.
Cerita
Rakyat Situ Bagendit dari Banyuresmi Garut
Alkisah,
di sebuah desa terpencil di daerah Jawa Barat, ada seorang janda muda yang kaya
raya dan tidak mempunyai anak. Hartanya yang melimpah ruah dan rumah sangat
besar yang ditempatinya merupakan warisan dari suaminya yang telah meninggal
dunia. Namun sungguh disayangkan, janda itu sangat kikir, pelit, dan tamak. Ia
tidak pernah mau memberikan bantuan kepada warga yang membutuhkan. Bahkan jika
ada orang miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan, ia tidak
segan-segan mengusirnya. Karena sifatnya yang kikir dan pelit itu, maka
masyarakat di sekitarnya memanggilnya Bagenda Endit, yang artinya orang kaya
yang pelit.
Selain
memiliki harta warisan yang melimpah, Bagende Endit juga mewarisi pekerjaan
suaminya sebagai rentenir. Hampir seluruh tanah pertanian di desa itu adalah
miliknya yang dibeli dari penduduk sekitar dengan cara memeras, yaitu
meminjamkan uang kepada warga dengan bunga yang tinggi dan memberinya tempo
pembayaran yang sangat singkat. Jika ada warga yang tidak sanggup membayar
hutang hingga jatuh tempo, maka tanah pertaniannya harus menjadi taruhannya.
Tak heran jika penduduk sekitarnya banyak yang jatuh miskin karena tanah
pertanian mereka habis dibeli semua oleh janda itu.
Suatu
hari, ketika Bagende Endit sedang asyik menghitung-hitung emas dan permatanya
di depan rumahnya, tiba-tiba seorang perempuan tua yang sedang menggendong bayi
datang menghampirinya.
“Bagende
Endit, kasihanilah kami! Sudah dua hari anak saya tidak makan,” kata perempuan
itu memelas.
“Hai
perempuan tua yang tidak tahu diri! Makanya, jangan punya anak kalau kamu tidak
mampu memberinya makan! Enyahlah kau dari hadapanku!” bentak Bagende Endit.
Bayi
di gendongan perempuan itu pun menangis mendengar suara bentakan Bagende Endit.
Karena kasihan melihat bayinya, pengemis tua itu kembali memohon kepada janda
kaya itu agar memberikan sesuap nasi untuk anaknya. Tanpa sepatah kata, Bagende
Endit masuk ke dalam rumah. Alangkah senangnya hati perempuan tua itu, karena
mengira Bagende Endit akan mengambil makanan.
“Cup...
cup... cup...! Diamlah anakku sayang. Sebentar lagi kita akan mendapatkan
makanan,” bujuk perempuan itu sambil menghapus air mata bayinya.
Tak
berapa lama kemudian, Bagende Endit pun keluar. Namun, bukannya membawa
makanan, melainkan sebuah ember yang berisi air dan tiba-tiba Bagende Endit
menyiramkannya ke arah perempuan tua itu.
“Byuuurrr...!
Rasakanlah ini hai perempuan tua!” seru Bagende Endit.
Tak
ayal lagi, sekujur tubuh perempuan tua dan bayinya menjadi basah kuyup. Sang
bayi pun menangis dengan sejadi-jadinya. Dengan hati pilu, perempuan tua itu
berusaha mendiamkan dan menyeka tubuh bayinya yang basah kuyup. Melihat
perempuan tua belum juga pergi, janda kaya yang tidak berpesan itu semakin
marah. Dengan wajah garang, ia segera mengusir perempuan tua itu keluar dari
pekarangan rumahnya. Setelah perempuan tua itu pergi, Bagende Endit kembali
masuk ke dalam rumahnya.
Keesokan harinya, beberapa
warga datang ke rumah Bagende Endit meminta air sumur untuk keperluan memasak
dan mandi. Kebetulan di desa itu hanya janda kaya itulah satu-satunya yang
memiliki sumur dan airnya pun sangat melimpah. Sementara warga di sekitarnya
harus mengambil air di sungai yang jaraknya cukup jauh dari desa.
“Bagende Endit, tolonglah
kami! Biarkanlah kami mengambil air di sumur Bagende untuk kami pakai memasak.
Kami sudah kelaparan,” iba seorang warga dari luar pagar rumah Bagende Endit.
“Hai, kalian semua! Aku
tidak mengizinkan kalian mengambil air di sumurku! Jika kalian mau mengambil
air, pergilah ke sungai sana!” usir Bagende Endit.
Para warga tersebut tidak
bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, mereka pun terpaksa pergi ke sungai untuk
mengambil air. Tak berapa lama setelah warga tersebut berlalu, tiba-tiba
seorang kakek tua renta berdiri sambil memegang tongkatnya di depan rumah
Bagenda Endit. Kakek itu juga bermaksud untuk meminta air tapi hanya untuk
diminum.
“Ampun Bagende Endit!
Berilah hamba seteguk air minum. Hamba sangat haus,” iba Kakek itu.
Bagende Endit yang sejak
tadi sudah merasa kesal menjadi semakin kesal melihat kedatangan kakek tua itu.
Tanpa sepata kata pun, ia keluar dari rumahnya lalu menghampiri dan merampas
tongkat sang kakek. Dengan tongkat itu, ia kemudian memukuli kakek itu hingga
babak belur dan jatuh tersungkur ke tanah. Melihat kakek itu tidak sudah tidak
berdaya lagi, Bagende Endit membuang tongkat itu di samping kakek itu lalu
bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Sungguh malang nasib kakek
tua itu. Bukannya air minum yang diperoleh dari janda itu melainkan
penganiayaan. Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, kakek itu berusaha
meraih tongkatnya untuk bisa bangkit kembali. Dengan sisa-sisa tenaga yang
dimilikinya, kakek itu menancapkan tongkatnya di halaman rumah Bagende Endit.
Begitu ia mencabut tongkat itu, tiba-tiba air menyembur keluar dari bekas
tancapan tongkat itu. Bersamaan dengan itu, kakek itu pun menghilang entah ke
mana.
Semakin lama semburan air
itu semakin besar dan deras. Para warga pun berlarian meninggalkan desa itu
untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Bagende Endit masih berada di dalam
rumahnya hendak menyelamatkan semua harta bendanya. Tanpa disadarinya, ternyata
air telah menggenangi seluruh desa. Ia pun berusaha untuk menyelamatkan diri
sambil berteriak meminta tolong.
“Tolooong.... Toloong...
Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Bagende Endit meminta tolong
sambil menggendong sebuah peti emas dan permatanya.
Bagende Endit terus
berteriak hingga suaranya menjadi parau. Namun tak seorang pun yang datang
menolongnya karena seluruh warga telah pergi meninggalkan desa. Janda kaya yang
pelit itu tidak bisa lagi menyelamatkan diri dan tenggelam bersama seluruh
harta kekayaannya. Semakin lama, desa itu terus tergenang air hingga akhirnya
lenyap dan menjadilah sebuah danau yang luas dan dalam. Oleh masyarakat
setempat, danau itu diberi nama Situ Bagendit. Kata situ berarti danau yang
luas, sedangkan kata bagendit diambil dari nama Bagende Endit.