Nama :
Indra Jalaludin
NPM :
1510631080074
Kelas :
4 B
Tentunya kita sudah tidak asing
lagi dengan istilah drama. Drama merupakan salah satu jenis karya sastra yang
menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak. Drama menggambarkan realita
kehidupan, watak, serta tingkah laku manusia melalui peran dan dialog yang
dipentaskan. Kisah dan cerita dalam drama memuat konflik dan emosi yang secara
khusus ditujukan untuk pementasan teater. Naskah drama dibuat sedemikian rupa
sehingga nantinya dapat dipentaskan untuk dapat dinikmati oleh penonton. Drama
memerlukan kualitas komunikasi, situasi dan aksi. Kualitas tersebut dapat
dilihat dari bagaimana sebuah konflik atau masalah dapat disajikan secara utuh
dan dalam pada sebuah pementasan drama. Sayangnya, sedikit sekali orang yang
mengetahui sejarah atau perkembangan drama ini. Oleh karena itu berikut penulis
paparkan sejarah perkembangan drama dari beberapa sumber.
Drama
Yunani
Asal mula drama adalah kultus Dyonesos.
Pada waktu itu, drama dikaitkan dengan upacara penyembahan kepada dewa, dan
disebut tragedi. Kemudian tragedi mendapat makna lain, yaitu perjuangan manusia
melawan nasib.
Komedi sebagai lawan kata dari tragedi,
pada zaman Yunani Kuno merupakan karikatur cerita duka dengan tujuan menyindir
penderitaan hidup manusia. Ada tiga tokoh Yunani terkenal, yaitu Plato,
Aristoteles, dan Sophocles. Menurut Plato, keindahan bersifat relatif. Karya
seni dipandangnya sebagai mimetik, yaitu imitasi dari kehidupan jasmaniah manusia.
Imitasi menurut Plato bukan demi kepentingan imitasi itu sendiri, tetapi demi
kepentingan kenyataan.
Berbeda dengan gurunya Plato,
menurut Aristoteles yang juga tokoh Yunani yang
terkenal. Ia memandang karya seni bukan hanya imitasi kehidupan fisik, tetapi
harus juga dipandang sebagai karya yang mengandung kebajikan
dalam dirinya. Dengan demikian karya-karya itu mempunyai watak
tertentu.
Sophocles adalah tokoh drama terbesar
zaman Yunani. Tiga karyanya yang merupakan tragedi, merupakan karyanya bersifat
abadi, dan temanya relevan sampai saat ini. Dramanya adalah "Oedipus Sang
Raja", "Oedipus", dan "Antigone". Tragedi tentang
nasib manusia yang mengenaskan. Dari karyanya bentuk tragedi Yunani
mendapatkan warna khas.
Drama
Zaman Romawi
Terdapat tiga tokoh drama Romawi Kuno,
yaitu Plutus, Terence, atau Publius Terence Afer, dan Lucius Seneca. Teater
Romawi mengambil alih gaya teater Yunani. Mula-mula bersifat religius, dan seiring berkembangnya waktu drama mnjadi media
untuk mencari uang. Bentuk pentas zaman romawi ini lebih
megah dari zaman Yunani.
Drama
Abad Pertengahan
Pengaruh gereja Katolik atas drama
sangat besar pada zaman pertengahan ini. Dalam pementasan ada nyanyian yang
dilagukan oleh para rahib dan diselingi dengan koor. Kemudian ada pagelaran
"Pasio" seperti yang sering dilaksanakan di gereja menjelang upacara
Paskah sampai saat ini.
Ciri
khas drama abad Pertengahan, adalah sebagai berikut:
1.
pentas kereta atau pentas keliling ke
berbagai tempat,
2.
dekor bersifat sederhana dan simbolis,
3.
pementasan simultan bersifat berbeda dengan pementasan simultan drama modern.
Drama
Modern
Dalam bagian ini akan dijelaskan
perkembangan drama modern di beberapa negara yang melanjutkan kejayaan tradisi
pementasan dan penulisan drama yang telah dimulai pada jaman Yunani Kuno. Akan
dikemukakan tokoh drama seperti Ibsen (Norwegia), Strindberg (Swedia), Bernard
Shaw (Inggris).
Norwegia
(Ibsen)
Tokoh paling terkemuka dalam penulisan
drama di Norwegia adalah Henrick Ibsen (1828-1906). Karyanya yang paling
terkenal dan banyak dipentaskan di Indonesia adalah "Nora", saduran
dari terjemahan Armyn Pane "Ratna". Karya-karya Ibsen adalah “Love's
Comedy”, “The Pretenders”, “Brand and Peer Gynt” (drama puitis), “A doll's
House”, “An Enemy of the people”, “The Wild Duck”, “Hedda Gableer”, dan
“Roshmersholm”. Ibsen tidak memberikan
karakter
hitam putih, tetapi tokoh penuh tantangan, watak yang digambarkan kompleks
dengan penggambaran berbagai segi kehidupan manusia. Dialognya dengan gaya prosa yang realistis
dengan menekankan mutu percakapan dan bersifat realistis. Gagasan yang
dikemukakan dapat membangkitakan gairah dan memikat perhatian. Problem yang di
angkat dapat menjadi lelucon drama yang besar dan diambil dari problem yang
timbul dalam masyarakat biasa.
Swedia (August Strindberg)
Tokoh
drama paling terkenal di Swedia adalah Strindberg (1849-1912). Karyakarya drama
yang bersifat historis dari Strindberg di antaranya adalah “Saga of the
Folkung” dan “The Pretenders”. “Miss Julia” dan “The Father” adalah drama
naturalis. Drama penting yang bersifat ekspresionistis adalah “A Dream Play”,
“The Dance of Death”, dan “The Spook Sonata”.
Inggris
(Bernard Shaw dan Drama Modern)
Tokoh drama modern Inggris yang
terpenting (setelah Shakespeare) adalah George Bernard Shaw (1856-1950) . Ia
dipandang ssebagai penulis lakon terbesar dan penulis terbesar pada abad
modern. Di Ingris Bernard Shaw memenduduki peringkat kedua setelah Shakespeare.
Karya-karyanya antara lain adalah “Man and Superman”, “Major Barbara”, “Saint
Joan”, “The Devil's Disciple”, dan “Caesar and Cleopatra”.
Tokoh drama modern di Inggris yang lain
adalah James M. Barrie (1860-1937), dengan karya “Admirable Crichton”, “What
Every Woman Knows”, “Dear Brutus”, dan
“Peter Pan”. Noel Coward dengan karya “Blithe Spirit”. Somerest Mugham dengan karya “The Circle”.
Christoper Fry dengan karyakaryanya “A
Phoenic Too Frequent”, “The Lady's Not for Burning”.
Perkembangan
Teater di Indonesia
Selanjutnya yaitu perkembangan drama atau teater di Indonesia.
Teater di Indonesia di klasifikasikan menjadi dua jenis yaitu Teater
Tradisional dan Teater Modern. Berikut pemaparan lebih jelasnya.
Teater
Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal
Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater
tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman
itu, ada tanda-tanda bahwa
unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara
ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan atau pun upacara adat-istiadat
dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut
“teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan
suatu bentuk kesatuan teater
yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater
tersebut membentuk suatu seni pertunjukan
yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater
tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah
lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu
berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana
teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater
tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater
tradisional yang sangat tua dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya.
Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan
berbagai prasasti pada zaman raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung.
Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan
wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat
itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga
ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada
zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh
karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.
Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu
belum jelas tergambar model pementasannya. Awal mula adanya wayang, yaitu saat
Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin
mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang
Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba.
Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering
menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana
dikenal sekarang.
Wayang
Wong (Wayang Orang)
Wayang Wong dalam
bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang
kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater
tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk
berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada
umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu
populer.
Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari
keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit
yang dapat dimainkan oleh
orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit
-hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para
pemainnya sendiri. Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan
musik. Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena
tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang
bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan.
Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang
yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang
seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti
dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat
dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang
Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang
Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya
menggerak-gerakan badan
atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para
pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang.
Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan
dialog.
Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater
tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong
yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau.
Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam
perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan
juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan
sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya
sebagai teater rakyat Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng
dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog. umumnya,
dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan
dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya.
Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber
pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama.
Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian
berkembang dengan baik di daerah lain. Pementasan makyong selalu diawali dengan
bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong
dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang
(sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan
persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau
upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat
berjalan lancar.
Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater
tradisional yang bersifat kerakyatan
yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang
serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di
kampung-kampung. Teater tradisional di
Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra
lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya
bercerita.
Ada
dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
•
Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat
gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang,
yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog.
•
Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari
gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam
kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai
cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda,
yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang orang sering
menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu
rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra
Bangsawan.
Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat
besar terhadap perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum
Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada
Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari
judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan
Saleha.
Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi.
Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat
berbeda dan jauhberkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan lenong
di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang
dibicarakan adalah teater masa lampau. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda
menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang
disebut topeng Betawi, lenong, topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada
kenyataannya keempat teater rakyat tersebut
banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan
musik pengiringnya.
Longser
Longser merupakan jenis teater
tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat, termasuk
kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda
serupa dengan longser, yaitu banjet. Adalagi di daerah (terutama, di Banten),
yang dinamakan ubrug. Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari
kata melong (melihat) dan seredet (tergugah). Artinya barang
siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan
longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat
hiburan sederhana, sesuai dengan sifat
kerakyatan, gembira dan jenaka.
Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang
paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di
Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan
kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat
lainnya seperti srandul dan emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan
orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu
bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu
bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satubentuk teater
rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat
memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus
diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat
tingkat-tingkat bahasa yangdigunakan, yaitu:
•
Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
•
Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
•
Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam
ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa,
tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang
disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang
bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam
perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan
Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa
Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke
barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang
digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor
dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan
ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan,
Jula-juli, Samirah, Junian. Pemain
ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini
merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat
di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu
wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.
Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang
paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang
dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh
orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian
klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh
merupakan sumber dari tari tarian
Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit
dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana
raja-raja.
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh
diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya Bali.
Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan
Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan
para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa
Kawi ke dalam bahasa Bali biasa. Suling dalam gambuh yang suaranya sangat
rendah, dimainkan dengan teknik
pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan
yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh
mengandung kesamaan dengan “opera” pada
teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh
karena itu para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan
oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai
penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi
pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan
adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendangpemimpin. Dia memberi
aba-aba pada penari dan penabuh.
Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional
yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi
Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan
nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan
porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri,
arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena
ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa
Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapa.
Teater
Modern
Setelah pembahasan mengenai Teater Tradisional
selanjutnya adalah Teater Modern. Pemaparan Teater Modern akan dipaparkan
sebagai berikut.
Teater
Transisi
Teater transisi adalah penamaan atas
kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan
karena pengaruh budaya lain. Kelompok
teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan
memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan.
Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun
masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita
per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi.
Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi
inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh
dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat
yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang
kemudian berkembang hingga di
Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821
(Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia
pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel
di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak
mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa),
yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat
dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon
pertama yang
ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio
Retno, pada tahun 1901. Kemudian
disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia
Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang
menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan
muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera
Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21
Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra
Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan
lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang
ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama
sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman
Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru
dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
Teater
Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern
Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah
drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan
unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis
sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan
Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk
sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan
model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya
kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari
merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini
menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari
dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon
lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning
Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934).
Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti
Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur
karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama
dengan judul Keris Mpu Gandring.
Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.
Lakon-lakon iniditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan
serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini
adalah cendekiawan Indonesia, menulis
dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan
menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa
lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr.
Setan.
Teater
Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada
kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan
totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk
menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang
sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya
masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan
menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai
upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional
Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942,
di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus
sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane,
Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia
bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan
memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan
Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian
Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda
Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa
Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa
Eiga Kosya yang ingin
menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka
sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang
kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.
Dalam masa pendudukan Jepang kelompok
rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara
profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau
Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan
sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis
Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna
Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan
mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia,
Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris
kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young,
Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal
dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang
Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah
difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan
Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan
cara lamaseperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di
antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak.
Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan
peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik . Menyusul kemudian
muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero,
yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok,
yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih
mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teatermereka karena Dewi Mada adalah
penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang
dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelolapengusaha Cina atau dibiayai
Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha
Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai
rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari
adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang
keturunan Filipina, yang terkenal sebagAi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan
drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia
menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik
minat penonton. Cerita-cerita
yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan
lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya
adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih,
yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam
perjalanannya, rombongan sandiwara ini
terpaksaberlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi
rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-cerita baru untuk
kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada
tanggal 6April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai
pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal
pertunjukan barukemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir.
Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsure
hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya
dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton.
Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara
antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok,
Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo
di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek
Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo
di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu
Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD
(Perserikatan Oesaha VSandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan
sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan
oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis
lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei
Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen
diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh
Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena
ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau
melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu
malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan
sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul
rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar
Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo
Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah
denganpara anggota cendekiawan muda, nasionalis
dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip
menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke
arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan
tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan
cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni
serius dan ilmu pengetahuan.Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius.
Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu
berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
Teater
Indonesia Tahun 1950-an
Setelah perang kemerdekaan, peluang
terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan,
juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan,
keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan
tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa
perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil
Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan
Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah
Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin,
1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska
perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi,
kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang,
dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakonlakon seperti Awal dan
Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang
Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja
(1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya
Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy.
Utuy Tatang Sontani dipandang
sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di
Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat
alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952)
tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia. Realisme
konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa
dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov.
Kedua seniman teater Barat dengan idiom realism konvensional ini
menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada
tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan
realism dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-
karya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan
metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh TNI adalah
Stanislavskian.
Menurut Brandon (1997), ATNI inilah
akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater
Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu
Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana
Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955
Harymawan dan Sri Murtonomendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia
(ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
Teater
Indonesia Tahun 1970-an
Jim lim mendirikan Studi klub Teater Bandung dan
mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis
seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat.
Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para actor terbaik dan para
sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani)
dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain
dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William,
1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar,
(Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.
Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur
wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran
Geusan Ulun (Saini KM., 1961).
Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya
realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus,
1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco,
1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris.
Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim
yaitu mencampurkan unsure-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha
membebaskan teater dari batasan realism konvensional terjadi pada tahun 1967,
Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra
mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek
improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam
drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan
eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang
diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya
misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968). Didirikannya
pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta
tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater
tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,
Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67
(enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang
sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya
dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi
nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk
pertunjukan teater yang mengacu teater epic
(Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki
Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater
Lektur, Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN
mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim.
Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan
Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan
Burhan Piliang. Tokoh-tokoh teater yang
muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu
Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja),
Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). ArifinC. Noor
(Teater Kecil) dengan gaya pementasan
yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan
verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan
menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia
sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan
yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.
N. Riantiarno (Teater Koma) dengan cirri pertunjukan yangmengutamakan tata
artistik glamor.
Teater
Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik
Indonesia kian seragam melalui pembentukan
lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik
kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan.
Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater
Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja).
Beberapa jenis festival di unsur
pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah
jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin
banyak. Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul
Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot. Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok
teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu
posisinya sejajar dengan caracara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi
latihan. Ada pula Teater Luka, Teater
Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio
Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus
perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah
Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi
satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang
seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan
membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.
Teater
Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer Indonesia mengalami
perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni
teater, kemungkinan ekspresi artistik
dikembangkan dengan gaya khas masingmasing seniman. Gerakan ini terus
berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling
bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater
eksperimental terus juga tumbuh. Semangat
kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal
dengan menggandeng beragam Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan
Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di
Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq
Dimyati dan Mukid F. Pada saat itu
lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di
Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater
Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional
kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi
bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh,
Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden,
dan Orde Tabung. Di Solo
(Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita
yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul
Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidaggidig.
Dafrar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar ? Silahkan post :)